Festival Rakyat Perhutanan Sosial: Transformasi Perhutanan Sosial Menuju 4.0

Dipublikasikan oleh admin pada

Usaha pemerintah dalam melakukan pemerataan dan mengurangi ketimpangan ekonomi dilakukan, salah satunya ,melalui perhutanan sosial. Reforma agraria, yang juga menjadi akses perhutanan sosial menjadi cara untuk mengurangi kesenjangan dan memberi keadilan pada masyarakat yang hidup di sekitar hutan, baik dalam memanfaatkannya atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebelum adanya regulasi mengenai perhutanan sosial, banyak sekali masyarakat yang menggarap area hutan lindung karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Di Lampung Barat 76% wilayahnya adalah Hutan Lindung. Jadi masyarakat adat sekitar hutan banyak yang menggarap area hutan lindung sebelum adanya aturan.”, tutur Lasimin, mantan perambah hutan di Lampung Barat.

Setelah ada regulasi soal perhutanan sosial, masyarakat menjadi terlindungi. Masyarakat tidak perlu lagi bermasalah dengan pihak berwajib untuk mengelola area tersebut. Ini membuktikan bahwa perhutanan sosial sangat penting keberadaannya.

Festival Rakyat Perhutanan Sosial Nusantara atau biasa dikenal dengan PeSonNa, menjadi salah satu bukti pentingnya keberadaan hutan bagi masyarakat. Festival yang digelar oleh para penggiat perhutanan sosial ini, diselenggarakan di Manggala Wanabhakti pada 27-28 November 2019. Festival diselenggarakan dalam rangka menampilkan berbagai contoh praktek perhutanan sosial dari seluruh Indonesia. Festival ini memberikan makna bahwa hutan memberikan manfaat yang besar jika dikelola bersama masyarakat.

Selain menampilkan produk hutan sosial beserta cerita sukses, festival ini pun menjadi ajang untuk sharing mengenai pengelolaan hutan antar masyarakat dari daerah lain di seluruh Indonesia. Bagaimanapun, masyarakat dipinggiran hutan lebih tahu bagaimana pendekatan yang paling tepat untuk melestarikan hutan.

Pengelolaan perhutanan sosial sebetulnya sudah banyak berkembang berkat aturan yang keluar dari pemerintah pusat. Hal ini dituturkan oleh Marwi, dari Rinjani Selatan, Lombok Tengah. Peraturan menteri tentang perhutanan sosial terbukti dapat melindungi dan membantu perekonomian masyarakat untuk mengelola areanya. Namun,  produk hasil bumi yang dikembangkan masyarakat tidak menyebar secara luas ke konsumen.

Memang, tak hanya melulu hasil hutan yang diandalkan, masyarakat juga bisa mengelola ekowisata untuk memajukan perekonomian. Menurut Ritno Kurniawan, dari Lubuk Alung, Padang Pariaman, pemasukan dari sektor wisata jauh lebih tinggi dibanding kegiatan mereka mengambil hasil hutan. Bahkan mereka mendapatkan penghargaan IOCA sebagai kegiatan wisata outdoor, mengalahkan Philipine dan Paraguay.

Seharusnya ini bisa menjadi celah yang lebar untuk menyisipkan pula produk hutan yang menjadi kekhasan Indonesia. Terlebih lagi, Adi Darmawan dari HKN Arsel Community, Bangka Belitung, sudah menerapkan eco tourism berbasis aplikasi AI untuk info lengkap mengenai jenis pohon, batuan, dan info lokasi wisata.

“Millenials sangat penting keberadaannya di sini sebagai pendobrak situasi stagnan perkembangan Perhutanan Sosial dalam upaya percepatan pengelolaan melalui ilmu marketing dan pemasaran lewat teknologi dan media sosial.”, tutur Tita Kamila dari Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Namun, bukan berarti harus selalu mengaitkan dengan peran pemuda. Menurut Janudianto, peran korporasi seperti APP Sinarmas rupanya juga berperan penting untuk mengembangkan produk masyarakat sekaligus membantu menghubungkan ke mitra korporasi. (Putri Hana Syafitri)

Editor : Shabrina

 


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *